Pandemi Covid dan Rasa yang ‘Nggak Jelas’

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on telegram
Share on email

Para psikiater dan psikolog melaporkan bahwa pandemi corona ini membawa dampak psikis atau dampak bagi kesehatan mental/emosional manusia. Stres, kecemasan, hingga depresi mengenai banyak orang. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperhatikan masalah kesehatan emosional diri kita dan juga orang-orang di sekitar kita. 

Rasa cemas tertular virus, rasa ngeri membayangkan diri kita terkena penyakit Covid-19 dan rasa cemas orang-orang tersayang terkena virus, adalah dampak psikis yang paling jelas dari semuanya. Rasa cemas ini membuat kita tegang, kita sangat waspada terhadap segala yang kita lakukan. Kita menerapkan kebiasaan baru hidup sangat bersih, cuci tangan setiap saat, bahkan hingga mengelap dengan sabun semua barang baru yang masuk ke rumah kita (termasuk kemasan makanan). Perasaan cemas dan serba waspada ini tentu membuat diri kita lelah dan tidak bisa rileks seperti halnya kehidupan normal sebelumnya.

Berikutnya, perasaan-perasaan yang muncul sebagai dampak berubahnya kehidupan dan aktivitas kita. Misalnya, stres yang muncul sebagai akibat perubahan kondisi pekerjaan: kita kehilangan pekerjaan atau kehilangan sebagian pendapatan kita. Perasaan yang timbul ini subjektif, berbeda-beda tiap orang. Orang yang lebih menekankan nilai pekerjaan sebagai kesempatan untuk berguna bagi orang lain, bisa saja merasa stress walaupun dia tidak mengalami kerugian finansial. Orang yang mempunyai ritme aktivitas cepat dan padat, mengalami perasaan aneh saat harus berdiam di rumah. Orang yang terbiasa bekerja di luar rumah, merasa bingung apa saja pekerjaan rumah yang bisa mengisi waktunya saat masa ‘di rumah saja’ ini. Anak-anak muda yang sangat suka hang out dengan teman-temannya, sangat rindu bisa berkumpul bersama teman-temannya. Orang yang biasa menikmati tempat-tempat di luar rumah (mal, tempat wisata) untuk penghibur hati, merasa terjebak ketika tidak bisa pergi ke tempat-tempat itu lagi. Ketidakjelasan waktu kapan kehidupan normal di masa lalu bisa kembali lagi menambah rasa tak berdaya dan frustrasi.

Menyesuaikan diri dengan kehidupan ‘di rumah saja’ bukan hanya soal beradaptasi dengan aktivitas di rumah, tapi juga soal berdinamika dalam relasi dengan orang-orang di rumah. Tidak semua kebersamaan dengan orang rumah berjalan mulus, apalagi ditambah dengan kondisi stress yang dirasakan masing-masing pribadi di rumah, tentu membuat berelasi ini jadi makin menantang. Sebagai contoh, suami merasa tertekan karena cemas masa depan finansial dan merasa aneh dengan kondisi santai di rumah, sementara istri merasa lelah karena tugas-tugas yang overload, masak lebih sering, menyelesaikan pekerjaan rumah sekaligus membimbing belajar anaknya yang mendapat PR daring dari guru sekolah. Anak-anaknya pun juga merasa bosan karena tidak bisa bermain dengan teman-temannya. Semua pribadi dalam satu rumah merasakan stress yang berbeda-beda, tentu saja interaksi yang terjadi di rumah tidak semulus yang diinginkan. 

Di saat-saat seperti ini, orang butuh didukung oleh orang lain, tapi kenyataannya, semua orang sedang merasakan tekanannya masing-masing, sehingga tidak maksimal menolong orang lain, bahkan tidak jarang muncul konflik yang memperparah. Orang gagal mendapat dukungan yang ia butuhkan dari orang lain, masih ditambah mendapat perlakukan yang tidak enak akibat luapan stres dari orang lain (kata-kata yang kasar, misalnya). 

Hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini untuk diri kita (dan pasti juga nanti menjadi baik untuk orang lain), adalah belajar mengelola perasaan-perasaan kita. Untuk ini, langkah pentingnya adalah: 

  1. membidik dengan setepat mungkin: “apa yang diri kita rasakan”,
  2. menerima perasaan itu tanpa membandingkan dengan perasaan orang lain.

Cobalah untuk mendata apa saja yang kita rasakan saat ini, semua perasaan khawatir, perasaan bosan, kekecewaan, maupun keinginan-keinginan kita. Saat berhasil menemukan perasaan-perasaan itu, stop membandingkan dengan perasaan orang lain. Kalau kita merasa bosan karena tidak bisa pergi ke mal, terimalah perasaan itu, jangan berpikir bahwa seharusnya kita tidak menghiraukan perasaan itu karena lebih berat perasaan yang dirasakan oleh orang lain. Kalau kita merasa sedih karena kurang merasa berguna akibat tidak lagi melakukan aktivitas-aktivitas, terimalah perasaan itu, jangan berpikir “Seharusnya aku merasa baik-baik saja karena ada orang lain yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi.” Jangan memarahi diri kita dengan berkata bahwa karena kita tidak mengalami kesulitan finansial, maka kita tidak selayaknya menderita perasaan tertekan/stres. Perasaan kita adalah subjektif, tergantung kondisi masing-masing pribadi kita, dan tentu saja berbeda-beda. Semua orang layak merasakan perasaannya masing-masing. Tanpa menyadari perasaan-perasaan diri kita, kita hanya akan merasakan ‘bad mood nggak jelas’, dan ini justru membuat kita mudah bertindak negatif. 

Yang berikutnya, usahakan tidak menambah beban pada diri kita. Batasi membaca berita-berita seputar Covid-19, karena akan membuat kita makin khawatir. Batasi juga media sosial tempat ajang ‘pamer’ yang akan memancing kita untuk merasa kecewa pada kehidupan kita, memancing kita untuk merasa rendah diri karena kondisi kita yang saat ini tidak produktif, dan semacamnya.

Akhir kata, jadikan ini tugas utama diri kita saat ini: menjaga kesehatan emosional diri kita dengan menyadari perasaan-perasaan kita dan tidak menuntut diri kita. Menjaga kesehatan emosional diri kita akan menjadi langkah awal menjaga kesehatan emosional orang-orang di dekat kita. 

Salam kasih Kristus, 

Henny Setiawati, M.Psi., psikolog


Artikel ini ditulis dan dikirimkan kepada Redaksi KOMSOS Pugeran oleh Ibu Henny Setiawati, M.Psi., Psikolog RS Columbia Asia Semarang pada tanggal 25/05/2020.

TERBARU